Senin, 08 September 2008

MENGANTISIPASI KONFLIK.

Konflik bila berkepanjangan maka akan melibatkan banyak pihak dan bersifat komplek. Hal ini tidak sederhana untuk dipecahkan. Tetap dalam konteks pengurus sebagai aktor-aktor sumber masalah.
maka pertama-tama pikiran langsung tertuju bagaimana gereja tersebut memilih pengurusnya. H.B. London, Jr mengemukakan :

“Setiap gembala yang saya kenal mempunyai seseorang atau sekelompok kecil tertentu di dalam gerejanya yang tidak rohani. Ketika belajar di seminari saya tidak pernah diberi pelajaran mengenai orang-orang ini atau bagaimana mengatasi mereka. Saya beranggapan jika saya hidup benar, mempunyai hati nurani yang murni dan mencoba untuk bergaul dengan baik, mereka akan melakukan yang sama. Ternyata bukan ini yang terjadi.”

Memilih pengurus yang dewasa secara mental dan rohani.
Keberadaan orang-orang yang tidak dewasa rohani di gereja adalah suatu yang nyata. Sehingga orang yang dewasa rohani seharusnya merupakan kriteria awal seseorang menjadi pengurus. Orang-orang yang sangat jelas dinyatakan dalam I Timotius 3:1-13. Ketika bukan orang-orang yang dewasa rohani menjadi kriteria dalam pemilihan menjadi pengurus, maka gereja akan rentan terhadap konflik.

Selain kedewasaan rohani merupakan faktor utama, hal-hal praktis yang bisa ditekankan dan dipertegas dalam kepengurusan antara lain :

1.Mereka yang duduk dalam kepengurusan inti adalah orang-orang yang teruji waktu
dengan karakternya yang baik, mempunyai komitmen kepada pelayanan dan
kepemimpinan di gereja.
2.Gereja merancang dan menyusun secara baik susunan pengurus dengan penjabaran
wewenang, tugas dan tanggungjawabnya masing-masing.
3. Perlu masa atau waktu jabatan kepengurusan yang jelas.
4.Setiap pengurus harus mendapatkan pembinaan khususnya dalam hal-hal teologis
praktis berkenaan dengan kepemimpinan dan pelayanan di gereja.
5. Masalah pendidikan juga perlu dipertimbangakan, berkenaan dengan kepengurusan inti atau jabatan-jabatan strategis. Hal ini sangat penting karena diperlukan nalar yang baik dalam memperhatikan dan memahami tugas dan tanggung jawabnya dalam pelayanan serta interaksi antar individu.

Perlu Pemahaman yang Benar Tentang Konsep Kepemimpinan di Gereja.
Persepsi jemaat juga pengurus terhadap pemimpin gereja dalam hal ini gembala sidang sering mengarah kepada dua persimpangan : Pertama, seorang gembala dianggap memiliki kuasa penuh dari Tuhan sehingga setiap orang harus tunduk dan taat secara buta ; Kedua, gembala sidang dianggap sebagai manusia biasa sama dengan profesional lainnya.

Berdasarkan pemahaman pertama gembala sidang sering dianggab memiliki kekuasaan yang absolut di gereja. Semua warga gereja harus “tunduk” kepada gembalanya. Sedangkan pada persepsi yang kedua, pemerintahan dan kepemimpinan di gereja dianggap sama dengan sekuler. Sehingga perbedaan, pertentangan, dan perlawanan serta pemecahan masalah sesuai dengan cara sekuler juga diterapkan di gereja, meskipun tetap mengatasnamakan kebenaran dan efektifitas pelayanan. Tepatlah seperti apa yang dikatakan Donald Bubna :

Kebanyakan anggota dewan memandangnya sebagai keputusan bisnis. Mereka beranggapan, gereja tidak bertumbuh dengan cepat, kamit tidak menyukai gaya kepemimpinannya, atau kami tidak menyukai kepribadiannya. Kemudian mereka berpikir, inilah saatnya untuk membuat perubahan, seperti yang saya lakukan di dalam bisnis saya.

Pada dasarnya pendeta memang tetap manusia biasa, namun demikian meskipun tidak harus dihormati secara berlebihan, paling tidak dihargai pada posisi dan fungsinya. Sebab “di banding orang-orang Kristen lainnya, mereka seorang pendeta lebih jelas dalam hal menjadi utusan Kristus ( II Korintus 5:20), seorang yang secara ajek menyampaikan dalam kata dan perbuatannya ciri komitmen setiap orang Kristen.”

Setiap warga gereja harus memahami dan mengerti bahwa pendeta mendapat mandat khusus dari Allah dalam penggembalaan. Paling tidak ia adalah seorang manusia yang menerima dan memanifestasikan “spiritual authority” : “ Who has humbled himself before God, who has surrended his life to obidient servise, is authentic when he talks about the same process before another person. He shows by his life and proclaims by his words the reality of God’s reign in a representative man.” Mereka harus ditaati dan diperlakukan dalam norma-norma penundukan diri, kebenaran, keadilan dan kasih. Samuel Sauthard memberikan alasan yang baik :

Christianity is an authoritative religion. Word like “submit, obey, surrender” are common in the Christian tradition. The basic text of faith and order, the Bible contain direct commands for obidience. First, the men ( Acts 5:29). The Christian disciples is a “captive” of Christ ( II Cor 10:5). Second, the congregational and to esteem those who were “over” them ( I Thess 5:12), to obey the doctrine as taught by apostles ( Such as Paul ; Rom 16:17, 19). To “sumit” to rules of the flock was required ( Heb,13:17).

Sebenarnya konflik yang distruktif bukanlah karakteristik yang ada dalam gereja. Meskipun seorang pendeta tidak harus dianggap sebagai “kepatuhan tanpa syarat ” dalam memimpin, tetapi juga tidak boleh disamakan dengan prinsip-prinsip kepemimpinan sekuler. Edmund P.Clowney menjelaskan tiga prinsip gereja :

Our understanding of the government of Christ’s church must begin with the Lord himself and his kingdom authority. He is the Head of the church ; his rule is unique and incomparable. A second principle derives from the first. The church shows the organic life of Chirst’s body : it lives as an organism, not just an organization. The third principle is no less essensial. The church is not like the kingdoms of the world, for it is organized for servise, not dominion.

Kedudukan gembala sebenarnya merupakan wakil Kristus, otoritasnya merupakan otoritas dari Allah. Secara prinsip meskipun jabatan merupakan bagian dari otoritas, tetapi otoritas mendasar adalah ketika menjalankan tugas panggilannya sesuai dengan kehendak Allah di dalam Alkitab. Setiap gembala harus betul-betul mempertanggung-jawabkan tugasnya kepada Allah. Dan secara timbal balik, setiap warga gereja dan pengurus juga harus menyadari bahwa secara tidak langsung ketidaktaatan kepada gereja dan pemimpinnya sebenarnya merupakan manifestasi ketidaktaatan kepada Kristus sebagai kepala gereja. Mengutip perkataan George Herbert : “ Seorang gembala adalah wakil Kristus untuk menjadikan manusia taat kepada Allah. Berdasarkan hal ini sulit sekali untuk bisa taat kepada Kristus kalau tidak taat terlebih dahulu kepada wakil-Nya yang bertanggungjawab atas jiwa mereka ( Ibrani 13:17).”

KESIMPULAN.
Untuk meminimalisasi terjadinya konflik antara pengurus dengan gembala, maka gembala atau pun gereja perlu memperhatikan dengan baik mereka yang akan diangkat menjadi pengurus gereja. Proses dan kriteria pengangkatan pengurus sangat berpengaruh bagi proses pelaksanaan pelayanan di gereja.

Pada akhirnya bagi para gembala perlu dijadikan pegangan hidup bahwa : “Panggilan menjadi hamba Allah khususnya menggembalakan jemaat adalah panggilan Ilahi. Di dalam menjalankan panggilan itu bukan berarti tanpa masalah. Justru di dalam masalah itu sebenarnya hamba Allah dan gereja sedang di bentuk dan dimurnikan.” Dan “Mengalami konflik adalah wajar, manusiawi dan bukan hal yang tidak lazim. Walaupun demikian ada yang membuat masing-masing berbeda, yaitu bagaimana mengatasinya.”

Tidak ada komentar: