Senin, 08 September 2008

KONFLIK DI GEREJA

PENDAHULUAN
Berjalannya efektifitas pelayanan gereja sangat dipengaruhi oleh berjalannya dua aspek dasar gereja : organisme dan organisasi. Kedua pokok ini tidak dapat diabaikan dan dipisahkan. Organisme bersifat seperti roh bagi badan. Aspek ini berkenaan dengan atmosfer kehidupan gereja. Organisme lebih berkaitan dengan iklim gereja : suasana ibadah, kerohanian, kegairahan dan keharmonisan antar individu. Sedangkan organisasi berbicara bagaimana pelayanan gereja terorganisir, tertata rapi dan terarah. Faktor ini berhubungan dengan penatalayanan yang mengarah kepada kepemimpinan, program dan strategi gereja.

Berkenaan dengan organisme saya ingin mengemukakan apa yang menjadi titik perhatian Ron Jenson dan Jim Stevens dalam bukunya “Dinamika Pertumbuhan Gereja ”:
Diagnosis pertumbuhan gereja pada umumnya tidak memasukkan sebuah studi tentang iklim. Diaknosis cenderung memusatkan pada pertumbuhan kuantitatif dan penyusunan program.

Mempertahankan kasih dan kesatuan bukan merupakan prioritas tertinggi dalam daftar kita. Kita tidak mendapati sifat atau peranan ini dalam agenda doa kita yang sering berkisar kepada masalah keuangan, gedung serta program. Kita merasa bahwa perpecahan, perselisihan dan iri hati dapat ditoleransi serta diabaikan.

Mengabaikan organisme sebenarnya mematikan “roh” gereja. Padahal pelayanan gereja harus berjalan di atas dasar dan situasi yang terus menerus beriklim kondusif, harmonis, hangat dan menggairahkan. Menurut Derek J Tindball : ” Dinamika rohani tetaplah merupakan syarat yang vital bagi pelayanan.” Dalam konteks konflik di gereja, konflik adalah salah satu musuh besar bagi efektifitas pelayanan.

ESENSI KONFLIK
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik di dalam gereja. Siapa pun bisa menjadi pemicu tanpa terkecuali gembala jemaat sendiri. Pada penulisan paper ini penulis lebih menyoroti pengurus gereja sebagai sumber konflik dengan gembala jemaat. Hal yang menjadi pembahasan adalah faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka berhadapan dan bertentangan dengan pemimpin rohaninya ? Apa akibatnya bagi gembala dan gereja secara umum ? Dan apa antipasinya supaya tidak terjadi permasalahan ?

Memang selama gereja ada dalam dunia yang dilayani oleh manusia dengan darah dan daging bernatur dosa, gereja tidak pernah lepas dari sifat dan ego manusia. Sifat dan ego manusia berdosa inilah sebenarnya akar terdalam sumber pertikaian. Seperti diungkapkan Derek J. Tindball : “ Menyatakan bahwa semua pelayanan bersumber dari pelayanan Allah adalah benar, namun bukan berarti tanpa masalah.” Dengan kata lain “tidak ada satu pun pelayanan yang kebal konflik.”

Konflik mengalami dampak yang besar bagi gereja bila hal itu terjadi antara pemimpin jemaat dengan pengurus gereja. Melalui pengalaman dan studi, saya menemukan bahwa semangat konflik yang terjadi antara “pengurus dengan pemimpin rohani,” apa pun sebab dan alasannya, seringkali spirit konflik berakar pada tiga hal : kesombongan, ketidaktaatan, dan kekuasaan.

Pada pembahasan kali ini saya mencoba mengetengahkan konflik dengan aktor-aktor pengurus gereja sebagai penyebabnya ( lain kesempatan gembala sebagai pemicu).

A. Kesombongan.
Pada setiap konflik sebenarnya permasalahan yang timbul tidak selalu karena hal-hal besar dan vital, tetapi juga sering karena masalah-masalah kecil dan sepele tetapi menggunung atau dibesar-besarkan dan disangkut pautkan dengan hal-hal yang lain, kemudian menjurus kepada senang dan tidak senang kepada personalitas.

Meskipun demikian motivasi yang melatar belakangi apa yang tidak disenangi oleh pengurus, lebih karena “subyektifitas” pribadi. Sampai puncaknya menjurus kepada spirit arogansi yang menjadi salah satu pendorong terbesar seseorang mengambil posisi untuk bertentangan bahkan melawan pemimpinnya. Kondisi seperti ini biasa terjadi dipengaruhi oleh beberapa kondisi :

Merasa berjasa bagi gereja.
Banyak majelis atau pengurus gereja didominasi oleh satu atau dua orang kuat, bahkan lebih. Mereka umumnya adalah para aktifis dan donatur. Mereka tidak jarang memiliki kekuasaan tersembunyi. Pengaruhnya tidak bisa disepelekan. Masalah akan timbul ketika mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan itu membuat mereka berkata “ tanpa saya gereja tidak bisa maju.”

Merasa bisa memimpin gereja.
Kecenderungan untuk melihat kekurangan, kelemahan dan kesalahan pribadi gembala kemudian membandingkan dengan dirinya sendiri bisa melahirkan ungkapan-ungkapan: “ Saya lebih bisa dari dia.” “ Kalau gembala dikatakan orang rohani, memang saya tidak ? kalau gembala adalah hamba Allah, apa saya bukan hamba Allah?.”

Mereka bisa beranggapan bahwa semua punya hak yang sama untuk memimpin. Sehingga kalau gembala jemaatnya mulai dianggap tidak bisa memimpin, maka mereka mulai memerankan dirinya sebagai pemimpin.

B.Ketidaktaatan.
Ketidaktaatan ada pada semua bidang kehidupan termasuk di dalam bergereja. Ketika ide atau usulan tidak ditanggapi apalagi dijalankan oleh gembala, membuat orang bisa mengganggap bahwa dirinya tidak dengarkan, dihargai bahkan tidak disukai. Padahal bagi pemberi usul, idenya itu dianggab baik dan harus dijalankan.

Ketika ide atau usulan-usulan tidak ditanggapi atau dijalankan, tidak sedikit pengurus yang mulai gerah terhadap pendetanya. Kasak-kusuk mulai disebarkan, prilaku-prilaku “berseberangan” mulai ditunjukkan. Lambat laun pengurus bukan lagi membantu dalam pelayanan, tetapi sebagai oposisi. Mereka menganggap lebih benar, kemudian mulai melakukan berbagai strategi dan trik layaknya para politikus. Mereka tidak lagi menaati apa yang seharusnya mereka lakukan kepada gembalanya. Mereka sibuk mencari kekurangan dan kesalahan gembalanya, kemudian ditebarkan kepada para pengikutnya. Ketidaktaatannya merupakan legitimasi dari ketidaksetujuan kepada gembala, dan mereka menganggap bahwa idenya lebih tepat, dan lebih bisa untuk menjalankannya.

C.Kekuasaan.
Beberapa orang bekerja bersama dalam pelayanan rohani tidak membuat mereka kebal dari tekanan untuk memilih jalan masing-masing dan melakukan urusan-urusannya sendiri, dan konflik terjadi karena berbagai kepentingan dipaksakan. Donald Bubna dengan jelas sekali memaparkan :

Kekuasaan, kontrol, berbuat semaunya, ini semua ada dalam sistem dunia. Pengukuhan diri sendiri, negosiasi terbaik untuk kepentingan diri sendiri dan pemuasan diri sendiri ; inilah pesan yang terkandung dalam budaya kita. Orang tidak masuk ke dalam lingkungan gereja tanpa membawa beberapa di antara unsur-unsur tersebut.

Pada awalnya setiap orang “masing-masing mampu memberi peluang kepada “diri sendiri.” Kemudian persoalannya menjadi pengamanan harga diri, nilai diri dan posisi kekuasaan di gereja, dan ini semua lebih didahulukan dibandingkan pelayanan. Tuhan tidak lagi berperan.” Mengutip pernyataan dari Lyle Schaller, Donald bubna mengatakan :

Politik adalah permainan kotor, dan puncaknya ditemukan di dalam gereja. Ini disebabkan di dalam gereja begitu banyak yang kita pertaruhkan : tradisi, corak hidup, penghasilan, investasi dana dan keluarga kita. Apabila setiap aspek ini terancam atau ketika orang merasa terancam-konflik betul-betul menguat.

Pada akhirnya dari semua permasalahan dan ketidaksukaan pengurus gereja kepada gembala sidangnya biasanya bermuara kepada kekuasaan, baik secara terencana maupun tidak kekuasaanlah sebenarnya yang menjadi puncak dari segala pertikaian di gereja. Richard J. Foster mengungkapkan : ”Kesombongan membuat orang berpikir bahwa ia benar, dan kekuasaan memberi kecakapan untuk memaksakan kepada orang lain apa yang dianggap benar, dan perpaduan antara kesombongan dengan kekuasaan membawa seseorang kepada sesuatu yang jahat.”

KESIMPULAN.
Atmosfer kehidupan gereja tidak bisa tidak perlu diperhatikan dengan baik, bila iklim kehidupan di dalam bergereja tidak kondusif maka pelayanan juga akan tidak baik. Konflik berkepanjangan merusak iklim gereja, gairah, persatuan, dan komunikasi . Pada dasarnya semua menjadi dingin. Atmosfer gereja tidak lagi kondusif bagi pelayanan. Kondisi seperti ini sama dengan tanah yang kering dan gersang, perlu siraman air hujan anugerah dan pembajakan ulang supaya menjadi tanah yang subur.

Konflik lebih dari sekedar pertikaian dan konfrontasi, spirit yang melatar belakangi konflik itulah sebagai penyebab utamanya .

Tidak ada komentar: